Pencarian

Shopping cart

Saved articles

You have not yet added any article to your bookmarks!

Browse articles

Krisis Resonansi dan Tidak mau belajarnya Sepak Bola Indonesia

✅ Link berhasil disalin!

Sepak bola Indonesia kembali menjadi arena Gaduh, Riuh dan Teu Puguh, bukan karena prestasi, melainkan karena kebisingan sosial di luar lapangan. Riuhnya media sosial, debat di ruang publik, ruang-ruang digital lainnya menyebabkan perpecahan antar pendukung klub lokal menjadi potret terbaru bagaimana olahraga yang seharusnya menjadi perekat justru berubah menjadi sumber disonansi sosial.

Ketika seorang pemain timnas tampil buruk, ia tidak lagi dikritik sebagai bagian dari tim nasional, melainkan diserang karena identitas klubnya. Fanatisme lokal meluas menjadi perang identitas, di mana Timnas berubah menjadi cermin konflik antar suporter, bukan simbol persatuan nasional.

Ketika Patrick Kluivert didatangkan, publik sontak mempertanyakan ada apa dengan federasi yang secara ujug-ujug mengganti pelatih di tengah mulai meningkatnya performa timnas. Meski demikian sebagian menyambutnya dengan harapan besar.

Nama besar yang melekat padanya sebagai legenda Timnas Belanda dan mantan pemain Ajax, Barcelona dan sejumlah klub Eropa mentereng lainnya, diharapkan membawa “standar Eropa” bagi sepak bola Indonesia. Namun seiring waktu, ekspektasi berubah menjadi kekecewaan.

Sejak kalah dari Australia 5-0 dan gagal tanpa point di kualifikasi Zona Asia Round 4 dari Arab Saudi Dan Iraq. Timnas tampil tanpa arah, formasi berubah-ubah tanpa dasar, Kadang 4-3-3, 3-5-2, lalu berubah 4-2-3-1, bahkan melalui analisis taktikal Bung Tommy Desky di kanal youtubnya sempat menggunakan formasi 5-0-5 melawan Irak dan ini dilakukan tanpa memahami kapasitas pemain.

Hasilnya, pemain terlihat linglung, kehilangan koneksi antarlini, dan tidak punya pattern of play yang konsisten, bahkan terjadi blunder yang menyebabkan gawang Timnas kebobolan. Dalam situasi ini, publik akhirnya menyadari satu hal penting nama besar tidak pernah bisa menggantikan sistem yang bekerja.

Fenomena ini tidak hanya soal kegagalan taktik, tetapi tentang disfungsi sistemik. Patrick Kluivert hanyalah bagian dari rantai panjang tata kelola sepakbola yang belum pernah benar-benar tuntas dibenahi.

Dalam Sport Governance Framework yang disusun Hoye dan koleganya (2020), disebutkan bahwa tata kelola yang lemah hampir selalu berujung pada kegagalan performa di lapangan. Ini adalah penyakit akut yang dialami federasi dalam menata sepakbola nasional. Sistem yang tidak transparan, keputusan yang diambil karena tekanan politis, dan kebijakan jangka pendek yang instan adalah pola lama yang terus berulang di tubuh federasi.

Mengutip (https://www.historia.id/article/lika-liku-blueprint-pssi-vxgaa). Sejatinya, gagasan pembinaan sepak bola Indonesia bukan hal baru. Sejak 1979, PSSI sudah memiliki Pola Pembinaan Sepakbola Nasional (PPSN) yang menekankan pembinaan berjenjang dan karakter pemain. Namun program itu tak pernah berumur panjang karena tergantikan proyek-proyek instan seperti pengiriman tim PSSI Binatama dan Garuda ke luar negeri.

Awal 1990-an, muncul Pola Pembinaan Persepakbolaan Indonesia (P3I) di era Azwar Anas dengan konsep lebih modern, tapi kembali terhenti karena proyek Primavera dan Baretti yang berorientasi cepat saji. Setelah itu, blueprint pembinaan seperti hilang arah hingga 2000-an, sebelum muncul program SAD Uruguay pada 2007 yang juga tak berlanjut.

Pada 2012, Timo Scheunemann merancang Kurikulum Sepakbola Indonesia berbasis riset dan pendekatan ilmiah, namun tanpa dukungan dana dan otoritas, ia berhenti di atas kertas. Lima tahun kemudian, Danurwindo meluncurkan Filanesia (Filosofi Sepakbola Indonesia) dengan sistem Elite Pro Academy, tapi implementasinya kembali terputus di tengah jalan.

Hampir setengah abad berlalu, pola yang sama terus berulang setiap kali muncul blueprint yang menjanjikan, selalu dipotong oleh proyek instan dan kepentingan jangka pendek. Alhasil, sepak bola Indonesia terus berjalan tanpa fondasi pembinaan yang berkesinambungan  sebuah sistem yang tak pernah diberi waktu untuk tumbuh.

Ketika pelatih diganti di tengah kompetisi, ketika proyek naturalisasi diutamakan daripada pembinaan pemain muda, dan ketika federasi terseret dalam narasi politik kekuasaan, maka yang rusak bukan sekadar permainan, tetapi fondasi seluruh sistem olahraga.

Sepak bola, menurut Fuller (2015), berfungsi sebagai arena komunikasi identitas nasional yang mampu mempersatukan masyarakat dari beragam latar sosial. Namun dalam konteks Indonesia, identitas nasional itu tidak hadir spontan dari kesadaran individu, melainkan diproduksi dan dipelihara melalui operasi komunikasi media yang bersifat selektif dan berulang (Ismail et al., 2025).

Artinya, media tidak sekadar penyampai informasi, melainkan mesin pembentuk persepsi kolektif. Niklas Luhmann, mengatakan situasi ini menggambarkan structural coupling, yaitu keterkaitan antara sistem-sistem sosial yang berbeda namun saling memengaruhi dalam hal ini sistem media, politik, dan olahraga.

Masing-masing sistem ini memiliki kode komunikasinya sendiri, media beroperasi dengan logika informasi/non-informasi, sementara olahraga hidup dalam kode menang/kalah dan politik dengan kode Pemerintah/Oposisi atau dalam versi lain Berkuasa/Tidak berkuasa. Ketika tiga sistem ini saling beririsan tanpa batas reflektif, maka logika media yang mengejar sensasi akan menelan logika sportif olahraga yang mengedepankan prestasi dan fair play.

Kehadiran video kampanye politik yang mengaitkan kemajuan sepak bola dengan pilihan elektoral memperjelas kaburnya batas antara sistem olahraga dan sistem politik. Begitu pula rangkap jabatan di level federasi yang memperlihatkan betapa olahraga mudah menjadi instrumen legitimasi kekuasaan.

Di sisi lain, fenomena pengamat yang berubah arah opini dulu mengkritik Shin Tae-yong, kini membela Kluivert menunjukkan gejala lain dari krisis sistem komunikasi: opini tidak lagi didasarkan pada analisis, melainkan pada arus dominan yang sedang menguntungkan. Situasi ini menandakan hilangnya resonansi social kemampuan sistem untuk mendengar dan belajar dari lingkungannya.

Rudolf Stichweh menempatkan olahraga sebagai sistem fungsional baru dalam masyarakat dunia, sejajar dengan politik, ekonomi, hukum, dan agama. Ia menyebut olahraga sebagai latecomer system, sistem yang muncul belakangan tetapi memiliki fungsi penting dalam mengekspresikan prestasi manusia. Fungsi utama olahraga bukan sekadar hiburan, tetapi komunikasi tentang capaian tubuh manusia melalui kode biner menang/kalah.

Dalam kerangka ini, olahraga semestinya otonom, memiliki logika sendiri, dan bebas dari intervensi sistem lain. Namun di Indonesia, otonomi ini telah terkikis. Olahraga kehilangan diferensiasi fungsionalnya karena terseret dalam pusaran politik, ekonomi, dan sensasi media.

Krisis sepak bola Indonesia pada akhirnya adalah krisis diferensiasi. Ketika sistem-sistem sosial saling menembus tanpa batas, resonansi pun hilang. Media gagal memahami konteks teknis olahraga, politik gagal menghargai profesionalisme, dan publik gagal membedakan antara kritik dan kebencian.

Dalam masyarakat modern, kata Luhmann, sistem yang sehat bukanlah yang bebas dari konflik, melainkan yang mampu memantulkan kembali kritik dari lingkungannya dan menyesuaikan diri melalui komunikasi reflektif. Di sinilah sepak bola Indonesia kehilangan jati dirinya, ia tidak mampu lagi belajar dari kesalahan dan hanya bereaksi terhadap tekanan.

Selama sistem olahraga kita terus dikendalikan oleh logika politik dan opini media, selama federasi tidak memiliki blueprint yang jelas tentang pembinaan jangka panjang, selama prestasi lebih sering diperlakukan sebagai proyek citra ketimbang proses sistemik, maka setiap pelatih baik Kluivert, Shin Tae yong, atau siapa pun setelahnya akan berakhir dalam pola kegagalan yang sama.

Sepak bola Indonesia tidak akan maju selama kita terus berpikir bahwa solusi datang dari individu, bukan dari sistem. Dalam bahasa Luhmann, hanya sistem yang mampu belajar yang dapat bertahan. Jika era Kluivert mengajarkan sesuatu, maka itu adalah pelajaran tentang kehilangan resonansi, ketika semua berbicara, tetapi tak ada yang mendengar.

Sepak bola bukan sekadar permainan dua babak, tetapi cermin tentang bagaimana masyarakat kita berkomunikasi dan seberapa jauh kita mau belajar dari kesalahan.


Penulis: Oki Ais | Editor: Bintang Aria Kandiawan

Artikel Sebelumnya
Laga Uji Coba Jadi Tolak Ukur, Bojan Mantap Tatap Liga
Artikel Selanjutnya
Regulasi Baru 11 Pemain Asing, Persib Utamakan Kebutuhan Tim

Artikel Terkait: